Senin, 20 April 2020

Ramadan, Zakat, dan Sok-Sokan Kita | Membincang cara Membagi Zakat bersama Cak Rat

Kabid Dikdas
Sehabis jamaah Jumat di Masjdi dusunku, Cak Rat bertandang ke rumah. Terkhir kulihat dia sedang di Marawi, Filipina bagian selatan. Aku lihat wajahnya dari tayangan televisi. Bukannya takut terkena peluru nyasar antara Tentara Filipina dan Kelompok Maute, dia malah dada ke kamera. Aku yang melihatnya, tidak begitu heran, memang dia agak gila.

Hari ini, dia sudah ada di rumah. Bertandang ke rumah. Tiba-tiba menyalakan televisi. Dipindah-pindah kanal teve sekenanya. Ketika ada saluran televisi berita, dia melirik ke arahku. Melihat aku juga sedang melihat televisi, Cak Rat langsung memberondongkan idenya.


“Indonesia ini kakehen polah, masak pembagian zakat aja harus dibagi dengan cara antre seperti itu.” Mulutnya nyerocos sambil memindah kanal televisi. “Mending nonton kartun seperti ini,” sambungnya.

“Bukan Indonesia, Cak. Cuma oknum,” Aku protes.

“Iya. Orang Indonesia. Indonesia kan negara. Negara tidak bisa memberi zakat. Orang-orang Indonesia memang sok.” Timpalnya.

“Bukan orang Indonesia, tapi hanya segelintir. Hanya oknum, Cak.” Aku masih protes.

“Iya. Oknum.”

Suasana hening. Kami menyimak presenter teve memaparkan beritanya.

“Itu sudah tahu. Ngapain teve ngeliput acara seperti itu. Gak mutu. Gak ikut dalam membangun karakter bangsa. Harusnya tivi itu menyiarkan kabar-kabar bagus. Yang menginspirasi.”

“Rating, Cak. Sing payu yo sing seru ngunu iku.

“Iya, memang sok-sokan semua orang Indonesia kan. Yang mbagi zakat biar disebut kaya. Biar disebut dermawan. Bagi zakat sama ratusan orang. Ratusan orang disurus ngantri. Ngantrinya panjang. Panas. Bahkan ada yang terjepit sampai pingsan. Itu orang niatnya nolong apa mau bikin orang susah.

Pasti nanti kalau ditanya wartawan jawabnya gini: saya hanya ingin berbagi dengan sesama. Pret.

Itu bukan berbagi, itu namanya cari muka. Biar disangka. Kalau memang ingin berbagi, harusnya meniru ajaran nabi. Tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu melihat.”

“Sebentar, Cak. Itu dalil dari mana?” Aku memotong pembicaraannya.

“Jo... Jo. Masak dalil begitu aja gak pernah kau dengar. Itu banyak di buletin-buletin, yang kubaca ketika di kampus dulu.”

“Emangnya sampeyan pernah kuliah?”

“Enggak, aku Cuma main-main di sekitar kampus dan banyak buletin Islam di sana. Ah, sudah. Kok jadi bahas buletin. Padahal aku pingin mbahas zakat.”

“Monggo, Cak. Monggo.” Aku mempersilahkan Cak Rat menuangkan idenya. Kalau kuhalangi, bisa jadi dia marah dan bikin geger seisi kampung.

“Masalahnya, memang. Semua kita. Eh, Kita semua memang sedang sok. Dari yang rakyat kecil sampai para pemimpin. Baik pemimpin kecil maupun pemimpin besarnya, sama. Sama-sama sok.”

“Maksudnya pemimpin kecil dan pemimpin besar Apa Cak?” Aku mencoba memahami ucapannya.

“Maksudnya, pemimpin Indonesia ini, di semua tingkatan. Dari daerah sampai pusat sama. Sama-sama sok.Biar dilihat orang. Kalau mau bagi-bagi hadiah nunggu diliput dulu oleh wartawan. Kalau tidak ada wartawan yang meliput, bikin video sendiri diaplud ke yutub. Pamer kan? Sok kan?”

Aku mulai mengerti arah pembicaraan Cak Rat.

“Coba para pemimpin itu meniru sahabat umar. Ketika melihat rakyatnya kelaparan, dia panggul sendiri itu beras. Diberikan kepada rakyat yang kelaparan. Tanpa nunggu besok, tanpa menunggu ada orang yang tahu. Bahkan yang diberi bantuan juga tidak tahu bahwa yang membantu adalah sang pemimpin. Ada pemimpin sekarang yang begitu?”

Cak Rat menunggu jawaban dariku. Aku diam saja. Dia melanjutnya orasinya di depan satu-satunya pendengarnya. Aku.

“Yang zakat, itu di tivi itu. Sama. Sudah ada banyak lembaga zakat, amil zakat di negeri ini. Mulai yang dari milik pemerintah, sampai lembaga swasta yang memang fokus ngurusi zakat. Ada Baznas, Rizki, BMH, Nurul Hayat, Lazisnu, Lazismu, dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi masjid-masjid di sekitar rumah kita di seluruh Indonesia yang menghimpun dan menyalurkan zakat. Lebai itu orang. Masak zakat aja dikabar-kabarkan begitu. Nyusahin orang.”

“Untung, sebagian besar tidak sok ya, Cak.” Aku menyela.

“Kata siapa?!” Nada suara Cak Rat meninggi. Aku jadi tidak enak sendiri.

“Kataku, Cak.”

“Semua orang Indonesia Sok, Jo! Kau dengar setiap malam, orang ramai-ramai ngaji di masjid, musala, langgar, dan rumah-rumah?” Cak Rat bertanya. Menatap tajam ke arahku.

“Iya, Cak. Dengar.”

“Kenapa kau bisa mendengar mereka?”

“Karena mereka pake spiker,” Jawabku ragu.

“Nah, itu! Betul! Orang nderes Quran aja pake spiker. Pake pengeras. Maunya apa? Dapat pahala? Tuhan itu  maha mendengar. Bahkan bisikan hati yang tak bersuara pun Tuhan tahu. Kalau kita ngaji pakai pengeras apa kita, eh kalian, eh mereka itu tidak menghina Tuhan? Seoalah-olah kalau kita tidak pakai pengeras tuhan tidak tahu.”

“Terus gimana, Cak?” Aku mencoba mencari solusi.

Yo, Mbuh, Jo! Pikiren dewe.”

Jelas-jelas aku bertanya. Berarti aku tidak bisa berpikir. Malah disuruh mikir sendiri oleh Cak Rat. Maunya ini orang apa.

“Iya, ya. Tuhan  Maha Mendengar, Cak. Berarti kita tidak perlu ngaji pakai pengeras ya?” Tanyaku lagi.

“Ya gak gitu juga, Jo. Gini aja. Kita kembalikan ke pelajaran yang pernah kita dengar waktu kecil dulu di langgarnya kang Sori.” Aku dan Cak Rat memang teman seperguruan. Guru kami adalah Kang Sori. Yang mengajarkan mengaji dengan benar.

“Sejak dulu kita tahu, Jo. Tuhan itu maha mendengar. Mendengar itu beda dengan mendengarkan. Mendengar itu punya dimensi lain dengan mendengarkan. Jika hanya mendengar berarti sebatas tahu. Kalau mendengarkan itu menyimak dengan sungguh-sungguh dan perhatian. Nah, kalau kau ngaji dengan speaker atau tanpa speaker, Tuhan pasti mendengar. Tapi Tuhan belum tentu mendengarkan orang yang ngaji dengan Speaker dengan tujuan pamer itu tadi. Paham, Jo?”

“Enggak, Cak.” Aku benar-benar bingung.

“Halah, mbuh wis, Jo. Pokoke ngunu. Kamu pernah ngaji di Speaker?”

“Ramadan ini, sama sekali belum, Cak.”

“Bagus, berarti kamu tidak sok. Kamu kalau ngaji di rumah saja. Biar Tuhan saja yang mendengar. Tidak perlu orang sekampung.”

“Itu masalahnya, pake speaker saja aku gak pernah ngaji, Cak. Apalagi di rumah. Kalau kamu?” Aku mencoba menelisik.

“Podo. Aku juga gak pernah ngaji. Hahahaha. Ya Wis, Assalamualaikum!”

Belum sempat kutanya dia hendak pergi ke mana, dia sudah ngeloyor pergi. Dasar Cak Rat. Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan salamku padanya.


Tidak semua orang mengaji pakai speaker itu sok. Toh, hati orang siapa yang paham. Kita jangan sok meniru Tuhan dengan sok mengetahui maksud hati orang lain.